Tikus merupakan salah satu hama utama di Indonesia yang Menimbulkan kerugian besar. Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tikus sawah diperkirakan mencapai 200.000 - 300.000 ton per tahun.
Beberapa cara pengendalian hama tikus telah dilaksanakan oleh para pelaku utama
, namun dalam pelaksanaan dilapangan belum ada keterpaduan antara cara yang
satu dengan yang lain dan cara penerapannya. Sehingga walaupun sudah dilakukan
usaha pengendalian namun masih terjadi kerusakan tanaman yang selanjutnya
terjadi kegagalan panen.
Tikus sawah banyak dijumpai merusak tanaman pangan khususnya padi sawah. Tubuh
bagian atas (punggung) berwama coklat kekuningan dengan bercak hitam di rambut-
rambutnya, sehingga memberi kesan seperti berwama abu-abu, dada berwama putih.
Panjang badan tikus sawah dewasa dari hidung sampai ujung ekor berkisar antara
270- 70 mm, dengan berat sekitar 130 g. Panjang ekor biasanya sama atau lebih
pendek dari pada badan dari ujung hidung sampai pangkal ekor. Panjang telapak
kaki belakang dari tumit sampai ujung kuku jari terpanjang adalah 32-36 mm.
Sedangkan panjang telinga 18-21 mm. Tikus sawah mempunyai enam pasang puting
susu yang terletak di kiri dan kanan pada bagian perut memanjang sepanjang
badan.
Tikus sawah dapat berkembang biak mulai umur 1,5-5 bulan. Setelah kawin, masa
bunting memerlukan waktu 21 hari. Seekor tikus betina melahirkan rata-rata 8
ekor anak setiap kali melahirkan, dan mampu kawin lagi dalam tempo 48 jam
setelah melahirkan serta mampu hamil sambil menyusui dalam waktu yang
bersamaan. Selama satu tahun seekor betina dapat melahirkan 4 kali, sehingga
dalam satu tahun dapat dilahirkan 32 ekor anak, dan populasi dari satu pasang
tikus tersebut dapat mencapai + 1200 ekor
turunan.
Anak yang baru lahir beratnya sekitar 2-4 g, berwama merah daging dan tidak
berbulu. Setelah umur 4 hari wamanya berubah menjadi biru kelabu dan pada
umur 7- 10 hari tumbuh bulu berwama kelabu dan coklat, saat ini mata masih
tertutup. Mata anak tikus terbuka setelah umur 12-14 hari dan masa menyusui
berlangsung sampai umur 18-24 hari. Pada umur 28 hari anak tikus telah dapat
berjalan dengan cepat.
Melakukan
pengendalian dengan cara yang tepat pada saat yang tepat sesuai fase kegiatan
dalam usahatani padi yang dikaitkan dengan siklus kehidupan tikus.
1)
Saat selepas panen sampai persiapan dan pengolahan tanah
Mengendalikan tikus pada saat selepas panen, karena tikus masih ada didalam
gelengan dan sekitar petakan dengan jumlah rata-rata per lubang 25 - 30 ekor
tikus, sementara makanan masih tersedia dari sisa panen berupa gabah yang
tercecer dan pada tumpukan padi.
Pada saat ini, pengendalian yang tepat adalah pengemposan dan gropyokan.
Apabila tidak dilakukan pengendalian pada saat selepas panen ini , maka semua
tikus yang ada dalam lubang akan tumbuh dewasa dan akan berkeliaran.
2)
Pengolahan tanah
Menjelang pengolahan tanah sebaiknya seluruh lahan dikeringkan, agar tikus yang
masih tinggal di petakan dan galengan merasa kehausan. Pada saat itu gabah yang
tertinggal dilapangan sudah tumbuh sehingga makanan untuk tikus mulai
berkurang.
Pengendalian yang tepat pada kondisi ini adalah pengumpanan dan gropyokan
dimalam hari.
3)
Pesemaian
Pesemaian sebaiknya dipagar plastik yang dilengkapi dengan bubu perangkap
tikus. Bubu perangkap tikus yang berukuran panjang 65 cm, lebar 24 cm dan
tinggi 24 cm memiliki kapasitas 20 - 30 ekor/ malam tergantung banyaknya
populasi tikus. Untuk 500 m 2 persemaian cukup dipasang 4 bubu perangkap.
Apabila sebelum tanam tidak dilakukan pengendalian, maka pada fase tanam sampai
fase berikutnya akan terus terjadi serangan.
4)
Fase Vegetatif
Kondisi tanaman pada fase vegetatif adalah tanaman sudah rimbun/anakan
maksimum; galengan kotor; tanaman merupakan makanan bagi tikus; fase awal tikus
membuat lubang di galengan. Fase ini merupakan kondisi yang sangat sulit untuk
mengadakan pengendalian yang efektif. Upaya pengendalian yang tepat adalah
dengan pengumpanan menggunakan klerat dan memakai umpan pembawa
"yuyu", tempatkan umpan pada jalan tikus lewat dan pasang pagar
plastik dengan bubu perangkapnya.
5)
Fase generatif dan menjelang panen
Pada fase ini umumnya tikus pada fase beranak dan berada di dalam lubang.
Kondisi pada fase generatif adalah makanan sudah tersedia dan galengan semakin
kotor. Pengendalian untuk tikus yang sudah menetap dilubang dengan cara
pengemposan.
6)
Panen
Apabila padi sudah berisi dan menguning, maka pengendalian yang paling tepat
adalah dengan cara pengeringan total. Dalam keadaan kering, tikus akan
mengurangi makan dan tikus tidak bisa makan kalau tidak disertai minum.
Pengemposan dapat dilakukan untuk mengendalikan tikus yang ada dalam lubang.
Komponen-komponen
PHT yang dapat dipadukan dalam pengendalian hama tikus antara lain :
(a) Sanitasi
Lingkungan,dilakukan dalam bentuk membersihkan
semak-semak dan rerumputan, membongkar liang dan sarang serta tempat
perlindungan lainnya. Dengan lingkungan yang bersih, tikus akan merasa kurang
mendapat tempat berlindung.
(b) Fisik
dan Mekanis,Usaha pengendalian secara fisik maupun
mekanis meliputi semua cara secara fisik langsung membunuh tikus seperti dengan
pukulan, diburu dengan anjing, menggunakan perangkap tikus, penggunaan pagar
plastik dan lain sebagainya. Cara pengendalian ini biasanya memberikan hasil
yang memuaskan. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan secara mekanis
antara lain :
1)
Gropyokan yang dilakukan secara massal dilengkapi dengan alat pemukul, cangkul,
emposan tikus dengan cara menggali liang, mengempos asap belerang ke liang dan
menggalinya. Di beberapa daerah ada yang melakukan dengan bantuan regu anjing
yang telah terlatih untuk berburu tikus, senapan angin, yang dinilai cukup
efektif sesuai spesifik lokasi. Kegiatan gropyokan dilakukan setelah
panen hingga persemaian.
2)
Pembongkaran liang dilakukan pada saat bera atau persiapan tanam, sekaligus
membersihkan dan memperbaiki pematang sawah.
3)
Perangkap bubu, dilakukan pada persemaian yang dikombinasikan dengan pagar
plastik, yang diprioritaskan pada daerah endemis.
(c) Mengatur
waktu tanam
Dengan
mengatur waktu tanam, jangka waktu tersedianya makanan yang disukai tikus akan
terbatas dan diselingi dengan masa yang kurang menguntungkan bagi
perkembangbiakan tikus. Pengaturan waktu tanam ini dilaksanakan dengan menanam
dalam waktu singkat untuk wilayah yang cukup luas (tanam serentak).
Diupayakan agar waktu
tanam dengan selang < 10 hari dalam areal yang luas, sehingga masa generatif
hampir serentak. Dengan demikian masa perkembangbiakan tikus hanya berlangsung
dalam waktu yang singkat. Karena daya jelajah tikus sampai + 2 km, maka penanaman serentak hendaknya meliputi
areal paling sedikit seluas -+ 300 ha.
Mengurangi
ukuran pematang di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus membuat liang.
Pematang sebaiknya berukuran
(d) Konservasi dan
Pemanfaatan Musuh Alami
Banyak
dijumpai musuh alami tikus di lapangan . Namun demikian banyak pula yang
kehidupannya semakin terdesak oleh ulah manusia karena masyarakat kurang
mengerti tentang kegunaan musuh alami tersebut. Upaya yang diperlukan terutama
menumbuhkan opini masyarakat tentang arti pentingnya kehidupan musuh alami
tikus yang ada di lapangan.
Salah
satu contoh musuh alami yang dapat memberikan prospek yang baik adalah burung
hantu (Tyto alba), karena daya membunuhnya yang tinggi dan dapat
dikembangbiakan. Musuh alami lainnya adalah ular, kucing dan anjing. Khususnya
ular populasinya sudah semakin sedikit akibat seringnya di bunuh oleh manusia.
Oleh sebab itu usaha konservasinya perlu ditingkatkan melalui kegiatan
penyuluhan baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.
(e) Penerapan
Pengaturan
Mengingat
upaya pengendalian hama tikus yang khas maka di tingkat lapang
penerapannya harus dikuatkan melalui kebijakan dari instansi
terkait dalam hal ini adalah Pemda setempat. Kebijakan/regulasi yang diperlukan
(dapat berupa instruksi, keputusan Perda, dsb) di bidang perlindungan tanaman
seperti larangan perburuan terhadap satwa pemangsa (predator) hama tikus,
pembentukan regu pengendalian, kewaspadaan terhadap timbulnya serangan dll.
(f) Penggunaan
Bahan kimiawi
Pengendalian
tikus dengan bahan kimia adalah menggunakan racun tikus (rodentisida) dan gas
beracun (fumigasi). Berdasarkan cara penggunaannya rodentisida terdiri
dari dua jenis yaitu rodentisida yang harus dicampurkan dengan umpan yang
disenangi tikus (seperti; beras, jagung, ketela pohon dan ubi jalar) dan
rodentisida siap pakai yaitu umpan yang telah mengandung racun.
Penggunaan rodentisida didasarkan atas adanya aktivitas tikus yaitu dengan
adanya pengamatan atas jejak tikus, kotoran tikus atau gejala serangan tikus.
Dalam
pengendalian hama tikus perlu memperhatikan beberapa hal yaitu:
a) Kedisiplinan para pelaku utama dalam praktek pengendalian sesuai siklus
perkembangan tikus.
b) Melaksanakan tanam serempak dan melakukan sanitasi atau kebersihan
lingkungan dan mempersempit ukuran tanggul.
c) Jangan mengembangkan sikap masa bodoh dan acuh tak acuh yang kalau melihat
lubang tikus atau ada gejala serangan diluar garapan yang dimiliki, karena
tikus memiliki daya jelajah semalam bisa mencapai 500 - 1000 m.
d) Perkembangan hama tikus yang sangat cepat. Dari sepasang tikus dalam setahun
bisa mencapai 2800 ekor lebih.
e) Jangan membunuh predator seperti ular sawah, burung hantu (Tito alba),
burung elang, gagak, musang sawah karena predator ini akan memangsa tikus.
Apabila
dari awal musim tanam sudah dilakukan pengendalian secara tepat pada saat yang
tepat, maka pada fase-fase berikutnya tikus semakin berkurang, sehingga peluang
keberhasilan panen semakin besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar