Senin, 12 Oktober 2015

EMPAT GOLONGAN MANUSIA DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH TA'ALA

Di antara hal yang kita harapkan dari amal ibadah yang telah kita lakukan adalah amalan-amalan tersebut diterima di sisi Allah ta’ala. Namun ternyata tidak semua orang yang berharap amalannya diterima di sisi Allah, amalannya tersebut benar-benar diterima oleh Allah azza wa jalla. Begitu banyak manusia yang amalannya tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah ta’ala.
Apabila kita melihat manusia dalam beribadah kepada Allah, ternyata mereka terbagi menjadi beberapa golongan, setiap golongan berharap bahwa dia-lah yang paling baik amalannya. Namun harapan adalah harapan, tidak semua orang yang berharap dapat merasakan hasil baiknya, kecuali apabila ia meniti jalan yang telah disyariatkan. Seorang penyair bersenandung:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا             إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى الْيَبَسِ

“Engkau berharap keselamatan namun enggan meniti jalannya, ketahuilah bahtera itu takkan berjalan di atas daratan”
Bila kita cermati secara mendalam, manusia dalam beribadah kepada Allah terbagi menjadi empat golongan. Dari keempat golongan tersebut, tidak ada yang selamat atau menjadi firqoh naajiyah kecuali satu golongan saja. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan keempat golongan tersebut:
Golongan Pertama: “Golongan orang yang enggan beribadah kepada Allah, mereka adalah golongan yang sombong (mustakbir).”
Bagi yang enggan beribadah kepada Allah, mereka termasuk orang yang sombong, angkuh, dan congkak, dan Allah telah menjelaskannya di dalam al-Qur`an. Yaitu firman-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”  (QS. Ghafir: 60)
Sekiranya seseorang sombong di hadapan sesama manusia, maka dia tidak akan mencium wanginya surga, lantas bagaimana bisa dia sombong dengan Tuhan Semesta Alam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah dari kesombongan.“ (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bila demikian, lalu bagaimana dia sombong kepada Allah, sedangkan yang memberikan kehidupan baignya adalah Allah semata??!! Bagaimana dia bisa congkak, padahal yang mengguyurkan segala kenikmatan di setiap waktu adalah Allah azza wa jalla??!! Bagaimana ia bisa angkuh, sementara yang menganugerahkan anggota badan yang lengkap lagi sempurna, yang bisa ia pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari adalah Allah ta’ala??!!
Sungguh celaka orang yang diciptakan Allah, namun ia enggan atau sombong dari beribadah kepada Allah. Sungguh tercela orang yang telah diizinkan melangkahkan kakinya di bumi Allah, namun ia berjalan di atasnya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan.
Orang seperti ini, dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang enggan masuk surga, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya: ya Rasulullah, siapa orang yang enggan. Beliau menjawab: Siapa yang taat kepadaku dia masuk surga, siapa yang durhaka kepadaku dia-lah orang yang enggan masuk surga.” (HR. al-Bukhari)
Golongan pertama ini dia begitu jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan petunjuk Nabi mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka itu hendaklah kita menjauh dari sifat golongan yang pertama ini dengan semaksimal mungkin.

Golongan kedua: “Golongan orang yang beribadah kepada Allah, namun juga beribadah kepada selain Allah, mereka adalah para pelaku kesyirikan (musyrik).”
Sungguh celaka, orang yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun ia juga beribadah kepada selain Allah. Sungguh tercela orang yang beribadah kepada Allah, namun ia menghiasi ibadahnya ia dengan kesyirikan kepada selain-Nya.
Ia melaksanakan salat karena Allah, namun kehidupannya masih begitu kental dengan dunia perdukunan. Ia mengerjakan puasa karena Allah, namun masih melakukan persembahan kepada keris, jimat, dan benda-benda buruk lainnya yang dimurkai Allah ta’ala. Ia juga berdoa kepada Allah, namun ia juga memohon dan berseru kepada makhluk selain Allah; ia berseru kepada Rasulullah, malaikat, orang yang dianggap saleh, atau bahkan ada yang terang-terangan memohon kepada keramat tertentu. Wa na’udzu billah.
Padahal semua perbuatan tersebut merupakan kesyirikan, yang akan menyeret pelakunya ke dalam neraka, ia kekal selama-lamanya di dalamnya. Perhatikanlah penyesalan orang-orang yang berbuat kesyirikan pada hari kiamat, sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala berikut:

تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِيْ ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ. إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Demi Allah, kami dahulu benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata, tatkala kami samakan kalian (berhala-berhala) dengan Rabb semesta alam.” (QS. asy-Syu’aro’: 97-98)
Bagaimana seseorang begitu lancang berbuat kesyirikan, padahal Allah telah melarang hal tersebut dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوْا اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا

Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan janganlah menyekutukannya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)
Bagaimana seseorang begitu ingkar terhadap Allah dengan kesyirikan, padahal yang menciptakan dirinya adalah Allah ta’ala semata. Suatu hari Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

“Dosa apa yang paling besar?” Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu.” (HR. al-Bukhari)
Itulah dosa paling besar, engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Begitu banyak ancaman dari Allah ta’ala bagi para pelaku kesyirikan, yang kesemuanya berujung kepada siksa di neraka dan diharamkan atasnya surga. Allah berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ

“Sesunguhnya barang siapa yang berbuat kesyirikan kepada Allah, maka sungguh Allah akan mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah di neraka.” (QS. al-Ma’idah: 72)
Dari keterangan ini kita mengetahui, bahwa golongan yang kedua juga merupakan golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus.

Golongan ketiga: “Yaitu golongan orang yang beribadah kepada Allah semata, namun dengan tata cara yang tidak sesuai dengan syariat Rasulullah, maka dialah pelaku hal baru dalam agama (mubtadi’).”
Golongan yang ketiga ini, meskipun mereka mengalamatkan ibadahnya kepada Allah semata, ikhlas lillahi ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, namun mereka tidak bijak lantaran beribadah tidak sesuai dengan Syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak sesuai dengan perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis yang mulia ini menerangkan bahwa orang yang beribadah namun tidak sesuai dengan Syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ibadahnya akan tertolak. Orang yang mengamalkan suatu amalan yang tidak pernah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan sia-sia. Meskipun ia meyakini bahwa amalan tersebut adalah baik, walaupun ia begitu semangat dalam mengerjakannya, selama tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amalannya akan tertolak. Lelah dan letihnya dalam beribadah tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian kita mengetahui, alangkah bahayanya orang yang beramal tidak sesuai dengan Syariat Rasulullah, amalannya akan sia-sia dan tidak akan diterima di sisi Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, orang yang melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  akan terhalangi dari bertaubat kepada Allah. Sebab dia meyakini bahwa amalannya adalah benar, perbuatannya adalah Sunah, jika demikian maka bagaimana mungkin ia akan bertaubat kepada Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الله احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ

“Sesungguhnya Allah menutup taubat bagi setiap pelaku amalan yang tidak dicontohkan oleh beliau.” (Hadis shahih. ash-Shahihah no. 1620)

Bukan sekedar balasan di dunia yang akan ia terima, namun di akhirat kelak ia akan terhalangi dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, dan siapa yang meminum satu teguk saja, niscaya dia tidak akan dahaga selama-lamanya, sebagaimana hal tersebut dijelaskan pada Hadis al-Bukhari dan Muslim.
Maka itu, hendaklah kita memperhatikan kembali tata cara salat kita, puasa, zikir, doa, dan ibadah-ibadah kita yang lainnya. Marilah kita meneliti dan mempelajari kembali hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ibadah kita menjadi benar, dan kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang membuat-buat amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari keterangan singkat ini dapat kita ketahui bahwa golongan ketiga golongan tersebut jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka adalah golongan menyimpang dari jalan yang lurus.

Adapun golongan yang benar, yang sesuai dengan jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah golongan yang keempat, mereka adalah: “Golongan orang yang beribadah kepada Allah semata dengan tata cara yang sesuai dengan Syariat-Nya, merekalah kaum mukmin yang mengesakan Allah (muwahhid).”
Golongan terakhir inilah yang selamat dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan amalannya berbuah pahala di sisi-Nya. Dikatakan selamat, sebab mereka mendasari ibadah mereka dengan dua hal penting begitu penting, yaitu: Ikhlas karena Allah, dan: Mutaba’ah atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua hal inilah yang dijelaskan Allah ta’ala di akhir surat al-Kahfi. Firman-Nya:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa yang berharap berjumpa dengan Rabb-nya, hendaklah ia beramal saleh dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Hendaklah beramal saleh yaitu yang sesuai dengan Syariat Allah, “dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya,” yaitu amalan yang diinginkan wajah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan inilah dua rukun diterimanya amalan; harus murni untuk Allah, dan benar sesuai dengan Syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibn Katsir)

Setelah kita mengetahui bahwa golongan manusia yang selamat dan sesuai dengan jalan yang lurus adalah yang senantiasa ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan selalu meniti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perlu kita ketahui, bahwa yang menjadi tugas agung kita semua adalah berusaha mengilmui, mempelajari, dan membuka kembali lembaran-lembaran ilmu yang telah ditulis oleh para ulama. Sebab, muslim yang baik adalah yang mendasari ucapan dan perbuatannya dengan ilmu, sehingga tidaklah ia berkata atau berbuat melainkan dengan dasar ilmu yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, yakni hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita semua adalah, sudahkan kita mempelajari al-Qur`an dan as-Sunnah yang merupakan sumber hukum Islam?? Sudahkah kita menyisihkan waktu sehari-hari untuk menggapai kampung akhirat, ataukah kita sibuk dengan perhiasan dunia yang menipu lagi semu?? Sudahkah kita meniti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, yang mana jalan hidup mereka penuh dengan ilmu dan amal?? Ataukah kita malah cenderung kepada budaya kaum tercela yang menghalalkan segala cara, yang tidak peduli terhadap perkara agama?? Sudahkah kita mempersiapkan bekal menuju tempat yang penuh dengan kenikmatan dan kekal abadi dengan beramal saleh?
Hendaklah kita benar-benar memperhatikan beberapa pertanyaan tersebut, agar Allah begitu perhatian dengan kita. Hendaklah kita menghiasi hari-hari kita dengan ilmu dan amal, agar Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.

Jumat, 02 Oktober 2015

PENYULUH PERTANIAN KONTRAK THL-TBPP GARDA TERDEPAN SUKSESNYA SWASEMBADA PANGAN DI INDONESIA ( PENYULUH PERTANIAN THL-TBPP NASIBNYA HARUS DIPIKIRKAN NEGARA)


Suksesnya kegiatan kedaulatan pangan ini tidak terlepas dari peran semua (stakeholders) pemangku kepentingan di negeri ini.  Khususnya untuk tanaman padi, melingkupi beberapa kementerian bukan hanya Kementan saja, di dalamnya terdapat juga Kementerian Agraria, Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, Perdagangan dll. Seperti sekarang dengan makin berkurangnya lahan pertanian karena terjadi konversi lahan pertanian menjadi lahan property dan pembangunan infrastruktur lain seperti jalan tol. Itu perlu sekali peran kebijakan dari Kementerian, masalah pengairan/jaringan irigasi, masalah ketersediaan pupuk, sarana prasarana, semuanya memerlukan kerjasama yang baik di antara kementrian tersebut.
Kebijakan pemerintah sangat penting dalam mencapai kedaulatan pangan.


Selain membuat aturan-aturan di masing-masing kelembagaan tersebut, yang tidak kalah penting adalah peran manusianya. Peran ini meliputi pejabat pembuat kebijakan, peran dinas terkait, peran penyuluh dan peran petani sendiri.


Jika orang-orang yang berada di lembaga yang membuat kebijakan/peraturan tidak mendahulukan kepentingan rakyat/tidak memihak kepada yang dibutuhkan rakyat (Penyuluh pertanian THL-TBPP JADI PNS/PPPK), maka otomatis rakyat sendiri tidak akan mendukung dan suatu program yang dicanangkan tidak akan berhasil atau sulit direalisasikan.

Peran kementerian/lembaga, dinas-dinas seharusnya membuat kegiatan/program yang sudah dijaring dari aspirasi masyarakat banyak (Diangkatnya Penyuluh Pertanian THL-TBPP Jadi PNS/PPPK).  Hal ini agar kebijakan yang telah dibuat berhasil dan dirasa manfaatnya serta masyarakat turut merasa memiliki sehingga peran masyarakat tersebut lebih optimal. Misalnya kegiatan dalam mendukung swasembada pangan ini di antaranya pemanfaatan jaringan irigasi untuk pertanian, jika masyarakat tidak diikutsertakan, biasanya mereka juga kurang perannya dalam kegiatan pemeliharaan sarana jaringan irigasi tersebut. Jika sudah demikian akan berdampak terhadap kegiatan swasembada pangan begitu juga nasib THL-TBPP harus menjadi perhatian serius oleh Pemerintah.

Peran Pemerintah
Peran penyuluhan pertanian (THL-TBPP) dapat diartikan sebagai garda terdepan dalam membangun manusia pertanian khususnya petani dewasa ini. Penyuluh berperan sebagai perantara/media informasi baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya. Penyuluh pertanian THL-TBPP menyebarkan informasi teknologi dari balai pengkajian dan perguruan tinggi ke petani dan menyampaikan aspirasi dari petani ke pengambil kebijakan semuanya perlu dukungan andil besar penyuluh. Karena penyuluh langsung terjun ke masyarakat maka tidak bisa dipungkiri penyuluhlah yang tahu apa saja kebutuhan masyarakat tersebut.

Penyuluh merupakan mitra kerja pemerintah sekaligus petani. Penyuluh berperan melaksanakan aturan yang dibuat pemerintah untuk dijalankan bersama dengan petani karena penyuluh di lapangan tugasnya bukan hanya sebagai pendamping kegiatan, tetapi sebagai Pembina dan Pengawas yang ikut bertanggungjawab agar target yang ditetapkan oleh pemerintah bisa tercapai. Penyuluh sebagai mitra petani adalah perannya membantu petani membangun mitra dengan petani sukses (pelaku usaha) bisa saja penyuluh itu sendiri sebagai pelaku usahanya dalam membangun usahataninya agar lebih maju. Memang tugas utama penyuluh itu adalah bagaimana merubah karakter (perilaku, keterampilan dan sikap) petani dan itu tidak mudah. Karena itulah peran penyuluhan pertanian khususnya THl-TBPP tidak bisa dinafikan.

Kalau kita melihat kondisi real keberadaan penyuluh sekarang yang masih belum sesuai amanat UU SP3K yaitu satu desa satu penyuluh, maka dirasakan tugas penyuluh sangat berat. Saya sendiri sebagai penyuluh pertanian THL-TBPP ( penyuluh kontrak) mengampu 2 Desa sekaligus sebagai wilayah binaan penyuluhan (WKP), begitu juga dengan teman-teman lain kondisinya tidak jauh berbeda. Hal ini menurut saya juga turut mempengaruhi produktifitas seorang penyuluh menjadi kurang optimal. Selain itu juga banyaknya penyuluh PNS yang akan memasuki pensiun pada tahun 2015-2017 mendatang menambah kurangnya ketersediaan penyuluh.

Melihat hal demikian, harapan saya sebagai seorang penyuluh kepada pemangku kepentingan (stakeholders) pemerintah agar lebih memperhatikan hal ini terutama keberadaan Penyuluh Pertanian THL-TBPP supaya menjadi PNS/PPPK dengan segera .

Karena jika kondisi ini terus dibiarkan tidak mustahil keberadaan penyuluh itu semakin habis dan harapan pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu jauh dari mimpi.  Menurut saya, penyuluhlah yang selalu membina melalui pendampingan dan pengawalan kegiatan petani di lapangan agar mau dan mampu menjalankan peraturan yang diaplikasikan dalam program pemerintah yang disalurkan ke petani tersebut.

Untuk mensejahterakan petani perlu juga diperhatikan kesejahteraan penyuluhnya (THL-TBPP) yang sampai sekarang 5-9 tahun ini  bekerja statusnya masih kontrak, penyuluh pertanian THL-TBPP ini mulai bekerja pada Tahun 2007-sampai sekarang) itupun dalam kontraknya hanya 10 bulan dalam satu tahun.  Bukan mereka tidak ikhlas, justru karena mengemban tugas negara para penyuluh masih tetap berkarya, dengan harapan semoga kerja mereka bisa mewujudkan petani sejahtera dan bangsa Berjaya, tetapi jangan lupakan juga status kepegawaian mereka.

Bravo THL-TBPP! Dalam pemerintahan yang sudah tiga kali berganti namun status THL-TBPP masih belum berubah tetap berkaya dalam Kabinet Kerja kerja dan kerja…

#sayaTHL-TBPP